{"id":2700,"date":"2022-04-28T08:57:00","date_gmt":"2022-04-28T01:57:00","guid":{"rendered":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/?p=2700"},"modified":"2022-05-07T09:09:59","modified_gmt":"2022-05-07T02:09:59","slug":"kasih-tuhan-sebagai-kekuatan-melayani","status":"publish","type":"post","link":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/kasih-tuhan-sebagai-kekuatan-melayani\/","title":{"rendered":"Kasih Tuhan sebagai Kekuatan Melayani"},"content":{"rendered":"\n

Oleh RD. Kamilus B. Duha<\/strong><\/p>\n\n\n\n

\u201cHanya karena kasih-Nya, aku bisa seperti sekarang ini\u201d <\/strong>Kalimat tersebut adalah motto tahbisanku, terinspirasi dari surat St. Paulus yang kedua kepada Jemaat di Korintus (1 Kor 15:10). Hanya karena kasih Allah saya bisa mencapai semua apa yang saya perjuangkan sampai pada garis finis, yakni tahbisan Imam. Mustahil saya dapat mencapainya kalau bukan karena Tuhan yang membimbing dan menguatkan saya dalam segala perjuangan saya.<\/p>\n\n\n\n

Seringkali manusia menjumpai hal-hal yang tak terduga dalam hidupnya. Yang dicita-citakan tidak terpenuhi. Eh, malah justru hal lain yang kini dijalaninya menjadi kariernya. Ada yang mencita-citakan menjadi tentara, perawat, malah menjadi Imam. Ada banyak pengalaman-pengalaman lain lagi. Itulah misteri hidup.<\/p>\n\n\n\n

Kisah panggilan saya boleh dikatakan unik. Kenapa tidak? Bila ditelusuri, seakan Tuhan menuntun melalui seluk beluk hidup dunia kerja yang beragam. Kemudian diarahkan ke Seminari Tinggi St. Petrus, Pematang Siantar. Tidak hanya itu, lebih jauh Dia, melalui almarhum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD, mengarahkan saya menjadi guru, yang sama sekali tidak saya minati. Pengalaman kecil-kecil yang saya alami menjadi sarana pembelajaran tersendiri bagi saya untuk menemukan kehendak Tuhan dalam hidup panggilan saya. Pengalaman kecil-kecil itu jugalah yang menjadi dasar untuk menjalani tugas sebagai Pastor dan Guru. Sungguh, dalam permenungan saya, tidak ada yang kebetulan. Melalui iman, semuanya pasti sudah menjadi rancangan Dia untuk saya. Memang, dalam hidup ini, tidak jarang Tuhan mengajak kita menikmati permainan yang disodorkan oleh-Nya untuk kita.<\/p>\n\n\n\n

Dari kisah pengalaman saya bekerja di salah satu toko penjual alat-alat elektronik di Medan, bekerja di PT. Perkebunan, bekerja sebagai kondektur mobil pengangkut material bangunan, tukang jual roti dengan menggunakan sepeda, kuli bangunan, hingga bekerja di PT. Penerbit Erlangga (di Jakarta, 1996 \u2013 2000), mungkinkah itu semua rencana Tuhan? Eh, ditambah lagi, ketika menjalani masa Tahun Orientasi Patoral (TOP) diminta mejadi guru. Ternyata itu berlanjut, begitu selesai kuliah di Pematang Siantar diberitahu kepada saya kalau saya ditugaskan di asrama St. Theresia sekaligus mengajar di SMA St. Yosef Pangkalpinang. Yah\u2026, inikah rencana-Mu, Tuhan? Ya, demikian. Dan, semakin meyakinkan saya bahwa inilah rencana Tuhan dalam hidup saya. Oleh karena itu, saya memilih motto tahbisanku, \u201cHanya karena kasih-Nya, aku bisa seperti sekarang ini\u201d.<\/p>\n\n\n\n

Bila direnung-renungkan, banyak orang mengalami situasi unik. Kadang apa yang diinginkan tidak diberi. Apa yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya, justru disodorkan sebagai hadiah. Memang unik. Namun dibalik itu semua memberikan makna yang menyenangkan. Saya ingin menjadi tentara, eh malah menjadi imam, tidak ingin menjadi guru, eh malah diutus menjadi guru. Ternyata rencana Tuhan bagi kita ibaratnya, bermain sepakbola. Ia tidak langsung menendangnya ke arah gawang lawan, meski bila itu Ia lakukan pasti tepat sasaran dan menghasilkan gol. Ibarat seni, memainkan bola itu kadang lembut, kadang keras, dibawa dan dioper ke sana-ke mari. Memang tidak enak bila bola itu hanya ditendang oleh kedua orang kiper, pastilah membosankan para penonton.<\/p>\n\n\n\n

Jadi, melalui semua orang, di tempat saya bekerja, Tuhan mengoper bola, menggiringnya, dan menendangnya ke arah saya mengajak saya ikut bermain bersama-Nya hingga menghasilkan gol. Apakah gol indah? Bisa iya, bisa tidak. Sangat mungkin bila Tuhan langsung menendangnya akan tercipta gol indah. Apa sih yang mustahil bagi Tuhan, bila itu Ia kehendaki? Akan tetapi, Ia tidak melakukan-Nya sendiri. Ia lebih ingin mengajak saya untuk ikut bermain memainkan bola bersama-Nya, bermain indah, oper-operan sambil berjuang, kadang tertawa, seperti kalau para Romo, Frater, dan Bapak Uskup bermain badminton, lebih banyak tertawanya daripada memukul shuttlecock<\/em>. Tuhan lebih ingin memainkan bola penuh seni, menikmatinya kendati ada begitu banyak tantangan yang menghalangi dari permainan lawan bermain. Akhirnya saya yakin Tuhan membuat indah pada waktunya.<\/p>\n\n\n\n

Menemukan Semangat yang Menguatkan<\/strong><\/p>\n\n\n\n

Jatuh bangun proses mendampingi seminaris seakan menjadi santapan harian. Pengalaman ini ternyata sangat mempengaruhi pikiran, perasaan, bahkan niat dalam menjalani panggilan sebagai staf dan guru di Seminari.<\/p>\n\n\n\n

Sungguh, tempat asrama dengan sekolah yang begitu dekat, sering terasa jauh karena gejolak dan rasa khawatir muncul dalam hati kecil: gejolak terhadap tanggung jawab dan kesulitan menghadapi beragam sikap (seminaris dan rekan kerja) yang muncul hari ini dan khawatir apakah hari ini saya dapat menjalankan segala tugas dengan penuh kasih, kesabaran, dan bijak.<\/p>\n\n\n\n

Sangat berbeda kemudian ketika tiba di pekarangan asrama sampai sekolah bertemu para seminaris yang menyapa satu persatu dengan semangat dan penuh harapan, \u201cSelamat pagi Romo\u201d. Langkah yang agak cepat menjadi pelan dan kadang terhenti karena sapaan tersebut. Ada yang menyapa sambil tersenyum. Ada yang menyapa sambil memasang sepatu pada kakinya, ada juga yang seperti pohon berjalan diam seribu bahasa.<\/p>\n\n\n\n

Biasanya di depan sekolah sudah ada seminaris yang berkumpul sambil mengobrol, ada yang bermain dengan anak anjing yang sedang lucu-lucunya dan menggemaskan. Ada guru piket yang dengan setia menyambut anak-anak yang datang sambil berdiri dan menyapa anak-anak seminaris. Para seminaris pun menyapa guru piket dengan ramah dan senyuman manis. Kemungkinan ada juga yang datang dan lewat begitu saja tanpa satu pun sapaan tercetus dari mulutnya. Ada juga yang menyapa tapi sebatas sebuah formalitas tanpa disertai hati yang tulus.<\/p>\n\n\n\n

Sedikit bangga karena ternyata para seminaris lebih banyak yang memiliki kasih dan sopan santun yang baik. Sapan-sapaan kasih penuh senyuman itu sungguh menyentuh jiwa. Sapaan kasih itu seakan mendobrak dan menghancurkan kekhawatiran saya. Awalnya memang saya melihat itu hanya sebatas sapaan-sapaan belaka. Namun, lama-kelamaan melihatnya, inilah tanda kasih dan pelayanan mereka pada sesama, terlebih kepada gurunya. Sapaan itu sekaligus membangun kesadaran dalam diri saya bahwa sebagai Pastor dan Guru harus  juga memberi hati, kasih, dan pelayanan, membagikan  hidup pada mereka. Bukankah Yesus telah meneladankan tindakan itu dan berpesan agar para murid melakukan hal yang serupa juga? (inspirasi Kamis Putih<\/em>).<\/p>\n\n\n\n

John Maxwell pernah berkata demikian, \u201cOrang sering menanyakan kunci kesuksesan saya. Saya mengatakan kepada mereka bahwa saya rasa jawabannya bisa diberikan pada tiga hal: (1) kebaikan Tuhan; (2) orang-orang hebat di sekeliling saya; dan (3) kemampuan saya untuk tetap berada di zona kekuatan saya. <\/strong>Saya butuh lima tahun pertama kehidupan profesional saya untuk mencari tahu kekuatan saya\u201d, (John C. Maxwell, Less Parrott<\/a>, \u201c25 Ways to Win with People<\/em>: Buatlah Orang Lain Merasa Sangat Berharga\u201d, hal. 178-179).<\/p>\n\n\n\n

John Well menyebut dua faktor utama yang berasal dari pribadi di luar dirinya (ekternal), yakni kebaikan Tuhan dan orang-orang hebat di sekitarnya. Mereka itu sungguh merupakan tanda bahwa Well adalah orang besar yang tahu berterimakasih dan menghargai peranan orang lain, sekaligus tanda bahwa ia adalah orang yang memiliki kerendahan hati. Selain faktor eksternal, satu faktor internal tetap diusahakan, yakni menemukan zona kekuatan diri. Maka, bila dikatakan sebagai sukses, Tuhan dan teman-teman terdekat yang memiliki peranan besar di balik semuanya itu, kata Maxwell.<\/p>\n\n\n\n

Tentu, penekanan di sini bukanlah kesuksesan, melainkan bagaimana dalam diri kita tumbuh satu kesadaran dan usaha menemukan kekuatan dalam diri untuk dipakai mendukung karya pelayanan bagi para peserta didik secara lebih baik. Saya pikir di sinilah intinya. Jadi, tinggal kita berusaha menemukan kekuatan itu. Dan, sebenarnya kekuatan itu Tuhan telah berikan kepada masing-masing kita berupa talenta. Maka, sambil berjuang, berdoalah supaya kekuatan itu dapat ditemukan dan dikembangkan sehingga dapat berbuah dalam pelayanan penuh kasih.<\/p>\n\n\n\n

Penutup<\/strong><\/p>\n\n\n\n

Sungguh benar bahwa menjadi guru adalah panggilan Tuhan untuk melayani. Karena Dia yang memanggil, maka Dia jugalah yang setia menyertai dan membimbing dalam menyelesaikan tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan pada saya.<\/p>\n\n\n\n

Dalam pengalamaan seperti di atas, di sana mampu menemukan dan merasakan hal yang paling esensial di dalam sebuah pendidikan, yakni pribadi para peserta didik dan hati mereka. Ke sanalah sebenarnya arah dasar hidup dan pelayanan seorang guru. Melalui sapaan mereka itulah sebenarnya Allah sendiri sedang menyapa para guru yang menyediakan diri untuk meneruskan karya Allah mendidik hati manusia muda.<\/p>\n\n\n\n

Jadi, kualitas sekolah hanya akan terwujud bila ada kerjasama yang baik dan saling mendukung dalam pemberian diri yang tulus dalam satu semangat, yakni \u201cKasih-Pelayanan\u201d.<\/strong><\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Oleh RD. Kamilus B. Duha \u201cHanya karena kasih-Nya, aku bisa seperti sekarang ini\u201d Kalimat tersebut adalah motto tahbisanku, terinspirasi dari…<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":2701,"comment_status":"closed","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"footnotes":""},"categories":[121,62],"tags":[120,99,98,119,74,75,102,88],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/2700"}],"collection":[{"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=2700"}],"version-history":[{"count":4,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/2700\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":2706,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/2700\/revisions\/2706"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/media\/2701"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=2700"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=2700"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/seminarijohnboen.sch.id\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=2700"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}